“Putranya berapa Pak?” Pertanyaan simpel, tapi dari pertanyaan itulah obrolan akan semakin akrab. Percaya atau tidak, saya sendiri pernah mengalaminya (yang bertanya maksudnya, bukan yang ditanya lho)
Suatu senja di dalam kereta dan dalam keadaan berdiri tanpa tempat duduk, ada seorang laki-laki yang jika dilihat sekilas tampak bahwa sudah berumur 40 ke atas. Berpenampilan layaknya seorang guru atau orang-orang yang berpendidikan, dosen mungkin. Hanya membawa sekantung plastik sebagai berisikan sebungkus roti dan dua botol minum, teh dan air putih. Duduk di sambungan kereta antar gerbong, di sampingku.
Lebih dari setengah perjalanan dari Surabaya menuju Solo, hanya ada beberapa dialog antara kami berdua, sekedar basa-basi. Turun di mana, sendirian, dan dari mana. Dialog hanya sekitar itu saja. Tidak lebih. Kemudian diam dan kembali dengan pikirannya masing-masing atau berbasa-basi kembali dengan orang-orang yang ada di sekitar (maklum, waktu itu ada 4-5 orang yang ndak dapet tempat duduk di tiap gerbong)
Hingga waktu isya menjelang
, bapak tadi berdiri dan mendekatiku yang sedang berdiri bersandar pada kursi. Kucoba memancing obrolan, “Putranya berapa Pak?” Entah dari mana, ada senyum hinggap di wajahnya. Dalam batinku, “Wah”. Tak terasa, senyum itu pula hinggap di wajahku.
“Tiga” jawab bapak tersebut
"Kuliah?” tanyaku lagi
Tanpa diminta, bapak tersebut mulai bercerita,”Yang pertama baru mau masuk SMP”
Batinku, “Wah, anak pertamanya saja masih kecil, tapi bapaknya udah keliatan lebih tua dari umurnya”
“Yang paling kecil masih empat tahun” sambung bapak tadi.
Dan walhasil, dari percakapanku dengan bapak tersebut, ada banyak pelajaran dan wawasan yang dapat kuambil. Mulai dari pandangannya tentang pendidikan anak yang membandingkan antara luar negeri dan Indonesia sendiri, mengedukasi anak untuk mau menanam walau satu pohon (sedikit info, bapak tadi berprofesi di kehutanan, di bagian reboisasi dan mempunyai tim yang bertujuan tentang edukasi anak dalam hal kesadaran akan lingkungan hidup) dan sebagainya dan seterusnya sampai tak terasa sudah berhenti di Stasiun Balapan
Nah dari sebuah pertanyaan “berapa putranya, Pak?” muncullah keakraban dalam percakapan di antara kami. Walaupun usia bapak tadi mungkin dua kali dari usiaku, tapi apa yang kami diskusikan juga ‘nyambung-nyambung’ aja, bahkan tanpa sadar di akhir percakapan ketika dirunut ke awal pembicaraan sudah ndak nyambung, mulai dari berapa putranya, sampai tentang pendidikan.
So, “berapa putranya Pak?”
Suatu senja di dalam kereta dan dalam keadaan berdiri tanpa tempat duduk, ada seorang laki-laki yang jika dilihat sekilas tampak bahwa sudah berumur 40 ke atas. Berpenampilan layaknya seorang guru atau orang-orang yang berpendidikan, dosen mungkin. Hanya membawa sekantung plastik sebagai berisikan sebungkus roti dan dua botol minum, teh dan air putih. Duduk di sambungan kereta antar gerbong, di sampingku.
Lebih dari setengah perjalanan dari Surabaya menuju Solo, hanya ada beberapa dialog antara kami berdua, sekedar basa-basi. Turun di mana, sendirian, dan dari mana. Dialog hanya sekitar itu saja. Tidak lebih. Kemudian diam dan kembali dengan pikirannya masing-masing atau berbasa-basi kembali dengan orang-orang yang ada di sekitar (maklum, waktu itu ada 4-5 orang yang ndak dapet tempat duduk di tiap gerbong)
Hingga waktu isya menjelang
, bapak tadi berdiri dan mendekatiku yang sedang berdiri bersandar pada kursi. Kucoba memancing obrolan, “Putranya berapa Pak?” Entah dari mana, ada senyum hinggap di wajahnya. Dalam batinku, “Wah”. Tak terasa, senyum itu pula hinggap di wajahku.
“Tiga” jawab bapak tersebut
"Kuliah?” tanyaku lagi
Tanpa diminta, bapak tersebut mulai bercerita,”Yang pertama baru mau masuk SMP”
Batinku, “Wah, anak pertamanya saja masih kecil, tapi bapaknya udah keliatan lebih tua dari umurnya”
“Yang paling kecil masih empat tahun” sambung bapak tadi.
Dan walhasil, dari percakapanku dengan bapak tersebut, ada banyak pelajaran dan wawasan yang dapat kuambil. Mulai dari pandangannya tentang pendidikan anak yang membandingkan antara luar negeri dan Indonesia sendiri, mengedukasi anak untuk mau menanam walau satu pohon (sedikit info, bapak tadi berprofesi di kehutanan, di bagian reboisasi dan mempunyai tim yang bertujuan tentang edukasi anak dalam hal kesadaran akan lingkungan hidup) dan sebagainya dan seterusnya sampai tak terasa sudah berhenti di Stasiun Balapan
Nah dari sebuah pertanyaan “berapa putranya, Pak?” muncullah keakraban dalam percakapan di antara kami. Walaupun usia bapak tadi mungkin dua kali dari usiaku, tapi apa yang kami diskusikan juga ‘nyambung-nyambung’ aja, bahkan tanpa sadar di akhir percakapan ketika dirunut ke awal pembicaraan sudah ndak nyambung, mulai dari berapa putranya, sampai tentang pendidikan.
So, “berapa putranya Pak?”
Komentar
Posting Komentar